Ini dia lanjutan dari Don't Leave Me-nya, dan ini juga part yang terakhir :D Selamat membaca... :)
Aku
menghempaskan tubuhku ke kasur. Air mataku mengalir kembali. Apa-apaan mereka
berdua?! Mencoba mempermainkanku? Saat Dujun oppa telah melepaskanku, malah
Junhyung oppa yang pergi meninggalkanku. Tidak seharusnya aku diperlakukan
begini dengan mereka!
Aku terisak, memikirkan bahwa aku
akan kehilangan orang yang ku sayangi sekali lagi. Aku merasa, tak ada gunanya
lagi aku memberikan cincin itu pada Junhyung oppa. Tak ada gunanya lagi aku
mengatakan bahwa Dujun oppa sudah melepaskanku. Toh, dia juga akan
meninggalkanku. Ternyata, perkataan Dujun oppa salah. Junhyung oppa akan
meninggalkanku sama sepertinya.
Tidak, aku lah sebenarnya yang
salah, aku lah yang egois. Bukan Junhyung oppa maupun Dujun oppa yang jahat,
tapi sebenarnya itu aku. Aku yang jahat, aku yang mempermainkan hati Junhyung
oppa.
Aku
tak berkata sedikitpun di pemakaman kekasihku. Meneteskan air matapun tidak.
Air mataku tak tersisa lagi, sudah kutumpahkan semua tadi malam, di detik-detik
terakhir tangan Dujun oppa menggenggam tanganku. “Ji Ae…,” panggil Junhyung
oppa disampingku. Aku meliriknya, tetapi tetap tak mengucapkan apa-apa. “Ji Ae…
Mau ikut mengantar Dujun?,” tanya Junhyung oppa. Aku menggeleng, entah kenapa
aku tak mau beranjak dari posisi ku sekarang, bahkan untuk mengantarkan abu
kekasihku itu ke laut.
Aku
mendiamkan Junhyung oppa, bahkan saat dia memanggil nama ku berkali-kali. Aku
tak peduli, aku sedang tak ingin berbicara dengan siapapun.
Aku merasa aku sangat
kekanak-kanakan saat itu. Aku tak peduli perasaan siapapun saat itu, bahkan
Junhyung oppa yang mungkin sakit hati melihat sikapku.
“Yoo
Ji Ae~~ Ini es krim untukmu~,” Junhyung oppa berjalan mendekatiku sambil
membawa 2 buah es krim. Aku menerima es krimnya, “Gomawoyo oppa~,”. Dia
tersenyum. “Bagaimana? Enak?,” tanyanya saat aku sudah memakan es krim
pemberiannya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Dia mengusap rambutku. Aku
teringat akan Dujun oppa.
“Dujun
oppa…,” kataku tak sengaja. Sadar, aku melirik Junhyung oppa. Tapi, ekspresinya
tak berubah, tetap tersenyum. Dia menoleh ke arahku yang menatapnya, “Waeyo?,”.
Aku menggeleng, “Umm.. aniya, aku hanya merasa.. perlakuanmu mirip dengan Dujun
oppa,”.
Seketika,
Junhyung oppa melepaskan pandangannya dariku. Aku menggigit bibirku pelan, tau
bahwa aku sudah salah. “Oppa.. mi..,”.
“Gwaenchana.
Aku tau, Dujun masih ada di dalam hatimu,” kata-kata Junhyung oppa membuat
dadaku sakit. Aku jadi sangat merasa bersalah dengan namja disampingku ini,
apalagi Junhyung oppa mengatakannya dengan tersenyum. Aku menundukkan kepalaku,
tak berani melihatnya.
Tangan
Junhyung oppa kemudian mengusap kepalaku. “Sudah, sudah. Nan gwaenchana. Aku
tidak marah padamu,” kata Junhyung oppa mencoba menghiburku. Aku memberanikan
diri mengangkat kepala, kemudian melihat ke arah Junhyung oppa. “Jinja?,”
tanyaku ragu. Junhyung oppa mengangguk.
Aku
dengan otomatis tersenyum.
Aku bodoh! Siapapun yang
diperlakukan seperti itu pasti akan sakit hati kan. Aku pun begitu. Aku tau,
Junhyung oppa mengatakan baik-baik saja, hanya untuk menghiburku. Sebegitu
bodohnya kah aku, hingga baru menyadarinya sekarang?
Aku kemudian dengan cepat mengambil
handphone-ku, mencari nama Junhyung di kontak ku. Aku mencoba menelponnya.
Tersambung!
“Oppa?,” kataku ragu. “Ya, Ji Ae. Ada apa?,” tanyanya di
seberang sana. “Oppa… Mianhae, mianhae, mianhae.. Aku tau aku egois, aku tau aku
bodoh, dan aku bodoh karena baru menyadarinya sekarang,”
“Hah?
Egois? Bodoh? Siapa? Kau bicara apa Ji Ae-ya?,”
“Oppa….,” aku terisak. “Oppa…
bisakah kau tetap tinggal di Korea?,” tanyaku dengan pertanyaan yang sangat
tidak masuk akal. Sekali lagi, aku menjadi egois. Tut. Panggilan terputus.
Junhyung oppa memutuskannya. Aku tau, Junhyung oppa kali ini pasti sangat kesal
padaku. Padaku yang tiba-tiba menyuruhnya untuk tetap tinggal, padahal saat dia
ada di sampingku, aku tidak benar-benar menganggapnya ada.
15 menit kemudian, sebuah ketukan
terdengar dari luar rumah. Aku berjalan menuju pintu, melihat seseorang berada
di depan rumahku melalui kamera, “Oppa…,”.
Aku segera membuka pintu, dan aku
langsung memeluknya saat aku melihatnya. “Wae.. waeyo Ji Ae-ya?,” tanya
Junhyung oppa terkejut. Aku makin memeluknya erat, sambil menangis terisak. Dia
mengelus kepalaku. Hangat. Rasa hangat seketika menjalar ke dalam tubuhku.
Sudah lama aku tak merasakan pelukan yang hangat seperti ini. Terakhir kali,
saat aku dipeluk oleh Dujun oppa.
((Junhyung
POV))
Aku tak mengerti, mengapa Ji Ae
tiba-tiba memelukku dan menangis. Aku mengusap kepalanya, mencoba
menenangkannya. “Ji Ae-ya, ada apa sebenarnya?,” tanyaku saat kami berdua sudah
duduk di ruang tamu. Ji Ae memberikan sebuah surat padaku, dan juga sebuah
kotak cincin. “Ini…,” katanya.
Aku membuka surat itu, dan mulai
membacanya. Kalimat terakhir di dalam surat itu, benar-benar membuatku speechless. Aku tak percaya dengan apa
yang baru saja aku baca. Aku menatap mata Ji Ae, yeoja itu menatapku balik.
“Oppa… kajimayo..,” Ji Ae memintaku
untuk tinggal. “Ji Ae-ya..,”
“Oppa, aku tau aku ini egois. Tapi,
bisakah kau mengabulkan permintaanku yang egois ini sekali lagi. Jangan pergi,
aku mohon. Aku tak mau orang yang ku sayang pergi dariku lagi,” Ji Ae
mengucapkannya dengan bergetar. Beberapa detik, aku berpikir untuk membatalkan
rencana ku ke Jepang, tapi dengan cepat aku menggeleng. “Tidak bisa, Ji Ae-ya,”
kataku pelan. Aku melihat mata Ji Ae sudah mulai berair.
Aku segera memeluk gadis yang sangat
aku sayang ini. Aku tak mau melihatnya menangis. “Ji Ae-ya, aku minta maaf.
Tapi, aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku
begitu saja,” bisikku di telinganya. “Tapi, oppa…,”
“Aku menyayangimu. Aku mencintaimu,”
bisikku lagi. Kali ini jantungku berdegup kencang. Tak mudah mengucapkan
kata-kata itu, sekalipun aku seorang namja. Aku menutup mataku, menarik nafas
untuk menenangkan diri. “Aku akan kembali,” kataku lagi.
Aku melepas pelukanku, menatap mata
Ji Ae. “Aku akan kembali, aku akan segera datang saat kau memintaku begitu. Aku
tak akan pernah benar-benar meninggalkanmu, kau mengerti?,”. Ji Ae terdiam
sejenak, dia tampak ragu, dia takut aku berbohong dengan ucapanku itu.
Tapi, kemudian dia mengangguk pelan.
“Baiklah, aku percaya padamu, oppa,” katanya sambil memaksakan untuk tersenyum.
Aku tersenyum, refleks aku mencium keningnya. Dia hanya diam, aku mengambil
kotak cincin tadi, kemudian memberikannya kembali pada Ji Ae. “Oppa..,”
“Sssh.. Aku akan melamarmu setelah
aku pulang dari Jepang. Ketika kau menerimaku, baru aku akan memakai cincin
itu,” kataku. Ji Ae tampak terkejut, “Melamar?,”. Aku tertawa kecil, “Kau tak
tau? Cincin itu adalah cincin yang dibeli oleh Dujun untuk melamarmu. Dan
sekarang dia memberikannya padaku, bukankah itu artinya aku diperintahkan untuk
melamarmu?,”. Ji Ae ikut tertawa, “Apa yang kau maksud dengan diperintahkan?
Hahaha,”.
“Baiklah oppa, aku akan menata
hatiku. Aku akan memikirkan jawaban ketika kau melamarku nanti,” kata Ji Ae
sambil tersenyum. Senyum tulus, senyum paling indah yang pernah aku lihat
selama setahun ini.
Aku berterimakasih pada Dujun.
Akhirnya kau berikan gadis-mu padaku, sahabatku.
THE END
Gimana??? Comment yaah :)
THE END
Gimana??? Comment yaah :)
No comments:
Post a Comment